Saya Coba Alat AI Sehari, Ini yang Bikin Kerja Lebih Cepat
Sabtu pagi, jam sembilan, saya duduk di studio kecil saya yang penuh sketsa dan cangkir kopi setengah minum. Di layar: moodboard untuk sebuah ilustrasi fantasi — kastil terapung, naga yang separuh berbahan kristal, dan kabut ungu yang memantulkan cahaya bulan. Deadline ketat. Klien ingin konsep cepat. Saya punya 24 jam. Keputusan: coba satu alat AI yang selama ini hanya saya pantau dari jauh.
Kenapa saya memutuskan mencobanya
Pekerjaan ilustrasi fantasi bukan sekadar menggambar makhluk dan latar; ini soal membangun atmosfer yang membuat penonton percaya pada dunia baru. Biasanya proses saya: ide kasar, thumbnail, warna blok, render, revisi klien—butuh 6–8 jam untuk satu konsep komplit. Ada rasa penasaran yang terus mengganggu saya: bisakah AI mempercepat tahapan awal tanpa merusak sentuhan personal saya? Saya butuh eksperimen nyata, bukan demo di YouTube.
Instruksi awal pada diri sendiri sederhana: gunakan alat AI untuk membuat base composition dan lighting reference. Sisanya tetap saya garap manual. Batasnya jelas. Eksperimen dimulai dengan memilih prompt, beberapa referensi foto, dan sebuah sketch kasar yang saya pindai pada jam 10.30.
Proses: dari prompt ke komposisi dalam satu jam
Langkah pertama adalah menuliskan prompt yang detail. Saya tidak hanya menulis “ilustrasi naga.” Saya menulis: “high fantasy, floating castle at dusk, crystal dragon perched on a spire, soft purple mist, rim light, cinematic composition, wide-angle, detailed textures.” Saya sertakan referensi warna dan moodboard dari folder kerja saya, ditambah satu contoh gaya dari portofolio mysticsheepstudios yang saya suka sebagai pijakan gaya.
Dalam 20 menit, alat AI memproduksi beberapa variasi komposisi. Ada yang langsung tepat—jarak antar elemen rapi, arah cahaya konsisten, dan pose naga dramatis. Ini momen mengejutkan. Biasanya saya butuh tiga thumbnail untuk menemukan pose yang cocok; hari itu AI memberikan delapan opsi dalam hitungan detik. Saya memilih dua yang paling promising lalu melakukan inpainting untuk memperjelas area yang penting: wujud mata naga, detail kristal, dan jembatan kecil yang menghubungkan menara.
Hasil mentah tentu belum sempurna. Ada artefak aneh di tekstur kristal dan proporsi menara sedikit aneh pada salah satu varian. Tapi di sini peran saya muncul: saya gunakan hasil AI sebagai draft kasar. Langkah-langkah yang biasanya memakan waktu berjam-jam — menyusun komposisi dan menentukan lighting — selesai dalam 60–90 menit. Efisiensi nyata.
Rendering akhir dan sentuhan manusia
Sore hari saya beralih ke tablet. Dengan base AI sebagai panduan, saya mulai menggambar ulang bagian-bagian utama dengan detail: kulit naga, retakan kristal, sapuan kuas untuk kabut. Waktu yang biasanya dipakai untuk mengutak-atik komposisi kini untuk memperdalam tekstur dan nuansa. Keputusan artistik yang memerlukan intuisi manusia — seperti memberi retakan kecil yang memantulkan cahaya atau menambah daun-lir di tepi menara sebagai petunjuk skala — tetap saya yang lakukan.
Ada momen lucu jam 16.00 saat klien menelepon. “Bisa ditingkatkan atmosfernya?” katanya. Saya menunjuk pada salah satu output AI, melakukan beberapa tweak warna dan contrast, lalu mengirim versi revisi dalam 30 menit. Klien puas. Saya lega. Efisiensi bukan soal mengganti kreativitas, melainkan mengarahkan energi kreatif ke area yang paling berdampak.
Refleksi: kapan AI membantu, kapan masih perlu tangan manusia
Di akhir hari saya menutup laptop dan menarik napas panjang. Pengalaman sehari itu mengajari beberapa hal konkret. Pertama: AI sangat kuat untuk brainstorming visual dan menghasilkan komposisi cepat. Dua: AI tidak menggantikan sensasi artistik—ia mempercepat pekerjaan repetitif dan memberi variasi yang mungkin tak terpikirkan; keputusan estetis dan storytelling tetap domain manusia. Ketiga: workflow hybrid (AI untuk base + manual untuk detail) ternyata paling efisien.
Saya pulang dengan perasaan campur: takjub dan waspada. Terkesan karena waktu yang berhasil diselamatkan; waspada karena mudah terlena memberi AI perintah yang terlalu umum sehingga hasilnya kehilangan “suara” karya saya. Pelajaran praktis: investasikan waktu membuat prompt yang presisi, gunakan referensi konkret, dan tetapkan batasan — apa yang diserahkan ke AI dan apa yang harus saya jaga sendiri.
Jika Anda bekerja di ilustrasi fantasi dan mempertimbangkan mencoba alat AI, coba lakukan eksperimen seharian seperti saya. Tetapkan tujuan yang jelas, pakai AI untuk apa yang AI lakukan terbaik—komposisi dan variasi—lalu pakai tangan Anda untuk melody-nya. Kecepatan datang bukan dari alat itu sendiri, melainkan dari cara Anda mengintegrasikannya ke dalam proses kreatif yang sudah mapan.